Beranda | Artikel
Ketegasan Seorang Pendidik
Selasa, 6 Agustus 2019

Bismillah.

Terdapat kisah yang sangat menarik untuk disimak. Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Sahih Muslim dalam bagian Kitab Sholat hadits dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian larang istri-istri kalian datang ke masjid apabila mereka meminta ijin kepada kalian untuk kesana.”

Mendengar hal itu, anaknya yang bernama Bilal -putra Abdullah bin Umar- berkata, “Demi Allah, benar-benar kami akan melarang mereka.” Salim menceritakan : Abdullah bin Umar pun menghadap kepadanya lalu dia cela anaknya itu dengan celaan yang keras, yang aku tidak pernah mendengar dia mencelanya dengan celaan seperti itu. Lantas beliau -Ibnu Umar- mengatakan, “Aku telah mengabarkan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kamu justru mengatakan ‘Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka!’.”  

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa seorang anak Ibnu Umar yang bernama Waqid berkata menanggapi hadits tersebut, “Kalau mereka/para istri dibiarkan leluasa keluar niscaya mereka akan membuat masalah/tipu daya.” Seorang periwayat menuturkan : Maka Ibnu ‘Umar pun memukul dada anaknya itu seraya berkata, “Aku telah menyampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas kamu berkata ‘tidak’!”

Imam an-Nawawi rahimahullah telah menjelaskan faidah-faidah hadits ini. Diantaranya adalah bahwa hendaknya orang yang menolak sunnah/hadits itu diberikan hukuman pelajaran supaya dia jera/kapok. Begitu pula orang yang membantah hadits dengan pendapat akalnya layak diberi hukuman khusus/ta’zir. Kisah ini juga mengandung pelajaran penting dalam ilmu pendidikan, bahwa seorang ayah semestinya memberikan hukuman pendidikan/ta’zir kepada anaknya yang berbuat kekeliruan meskipun anaknya itu sudah dewasa/tua (lihat Syarh Muslim, 3/258)   

Dalam riwayat Bukhari juga terdapat penegasan untuk memberikan ijin kepada kaum wanita/istri yang meminta ijin untuk ke masjid -misal untuk menghadiri sholat berjama’ah atau pengajian, pen- meskipun itu di waktu malam. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apabila istri-istri kalian meminta ijin kepada kalian pada waktu malam untuk ke masjid maka berikanlah ijin bagi mereka.” (HR. Bukhari no. 865)

Hadits di atas juga mengandung pelajaran dalam hal adab bahwa hendaknya seorang istri meminta ijin kepada suaminya apabila hendak pergi keluar rumah. Salin itu, perempuan yang keluar rumah hendaknya mengenakan hijab syar’i, tidak memakai wewangian, berjalan dengan sopan supaya suara sandalnya tidak terdengar, dan tidak berdesak-desakan dengan kaum pria. Apabila seorang perempuan berjalan bersama teman perempuannya hendaknya tidak banyak ngobrol, bukan karena suaranya itu aurat tetapi ketika kaum lelaki mendengar suaranya bisa mengantarkan pada fitnah/godaan (lihat kitab Nashihati lin Nisaa’ karya Ummu Abdillah al-Wadi’iyah, hlm. 99)

Hadits ini dijadikan dasar oleh para ulama untuk menganjurkan para suami memberikan ijin kepada istri-istri mereka pergi ke masjid apabila mereka meminta ijin untuk itu. Boleh perempuan pergi ke masjid dengan syarat tidak berpenampilan yang menampakkan perhiasan/auratnya dan apabila aman dari fitnah/kerusakan. Bahkan keluarnya mereka dari rumah untuk mendengar nasihat dan ceramah sholat hari raya hukumnya wajib (lihat Taisir al-’Allam, 1/112-113)

Sikap Ibnu Umar yang demikian tegas mengingkari orang yang ‘melawan’ perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sangat terlihat dari celaan yang beliau tujukan kepada anaknya. Begitu pula pukulan ke dada anaknya sebagai bentuk hukuman baginya. Selain itu di dalam riwayat Abu Dawud juga disebutkan, “maka dia pun mencelanya dan marah.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani) (lihat Sahih Abu Dawud no. 568 dan Fath al-Bari, 2/402)

Apa yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Umar menunjukkan fikih/pemahaman beliau yang sangat dalam terhadap pokok-pokok agama Islam. Bahwasanya tidak boleh menentang sabda nabi dengan perkataan/pendapat manusia apalagi hanya bermodal logika. Dari sisi lain, kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa keadaan manusia itu berubah dari masa ke masa. Bisa jadi keadaan perempuan di masa itu sudah mulai menampakkan hal-hal yang memprihatinkan sehingga mendorong anak Abdullah bin Umar itu bertekad melarang kaum wanita datang ke masjid. Tidak lain karena beliau khawatir hal itu akan semakin menimbulkan kerusakan. Maka, bagaimana lagi jika mereka/ulama salaf hidup di masa kini ketika banyak perempuan muslimah yang tidak peduli dengan hijabnya dan mencampakkan rasa malunya? (lihat keterangan Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah dalam catatan kaki Taisir al-’Allam, 1/113 cet. Dar al-’Aqidah)

Seorang boleh saja memiliki pendapat tetapi apabila telah jelas suatu hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya maka tidak pantas baginya melawan hadits itu dengan pendapatnya. Seorang muslim punya kewajiban untuk tunduk kepada perintah dan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal itu merupakan konsekuensi dari syahadat ‘bahwa Muhammad adalah utusan Allah’. Karena beliau tidaklah berbicara dari hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -rasul- itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)

Bersikap tegas dan keras dalam sebagian keadaan merupakan tuntutan hikmah. Bahkan itu bagian dari hikmah dalam berdakwah. Dan hal itu tidaklah menafikan keutamaan bersikap lemah-lembut kepada para mad’u. Ada kelompok manusia yang layak untuk disikapi dengan lemah lembut karena hal itu yang lebih mendatangkan maslahat untuknya. Di sisi lain ada sebagian orang yang tidak akan membuahkan maslahat baginya dan bagi orang lain kecuali sikap tegas dan cara yang keras. Hal itu disebabkan syari’at ini dibangun di atas prinsip mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Bahkan pada sebagian kondisi, kerusakan yang lebih kecil ‘terpaksa’ diambil demi menghindari kerusakan yang lebih besar (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hlm. 121)

Seorang ayah atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam membina peserta didik atau anak-anaknya. Tentu saja untuk itu dia harus membekali dirinya dengan ilmu agama. Sehingga dia akan bisa membedakan mana hal-hal yang harus disikapi dengan kelembutan dan manakah hal-hal yang memang seharusnya disikapi dengan tegas dan keras.

Dari kisah Ibnu Umar di atas, kita bisa melihat bagaimana besarnya perhatian ulama salaf terhadap pendidikan keluarganya. Dan termasuk perkara penting untuk ditanamkan ke dalam keluarga adalah pengagungan kepada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits adalah wahyu, sebagaimana al-Qur’an adalah wahyu. Tidak boleh seenaknya menolak hadits dengan alasan bertentangan dengan logika, atau bertentangan dengan perasaan dan tradisi.

Apabila demikian keras dan tegas sikap ulama salaf terhadap orang yang melawan sebuah hadits dengan akalnya, maka bagaimana lagi kiranya sikap mereka terhadap orang yang tidak peduli lagi dengan perintah dan larangan agama; tidak menunaikan sholat wajib, tidak mau menghadiri sholat hari raya bersama kaum muslimin, tidak mau mendatangi sholat jum’at, dan tidak mau menunaikan ibadah puasa Ramadhan bersama keluarga dan masyarakatnya?!

Padahal ia hidup diantara kaum muslimin dan dididik di sekolah umat Islam, al-Qur’an terus dibacakan dan mampu ia dengarkan… Apakah orang semacam ini dikatakan bahwa dirinya mendapat udzur/toleransi karena ketidaktahuan? Kita memohon kepada Allah petunjuk bagi mereka dan tambahan hidayah bagi kita. Hanya kepada Allah kita menyandarkan segala urusan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/ketegasan-seorang-pendidik/